Aksi WO Ananda Sukarlan dan Wajah Suram Dunia Pendidikan Kita
Hampir setiap hari saya menyaksikan aktivitas belajar tak biasa di Sekolah Shibghah Akhlak Quran (Sakura), di Cikunir, Bekasi. Selasa ini, (13/11), saya berkesempatan melihat anak-anak TK asyik masyuk bermain balok. Lalu nama Ananda Sukarlan tiba-tiba menyapa benak saya.
Sosok Pianis kondang itu mengemuka setelah melakukan aksi Walk Out (WO) saat Gubernur DKI Jakarta memberikan sambutan dalam acara Kolese Kanisius ke-90 Tahun, Senin kemarin. Dengan bangganya, Ananda berucap:
"Saya itu Islam dan waktu itu saya enggak ada masalah sekali dengan teman-teman yang katolik. Menurut Pak Anies, non-pribumi, saya enggak tahu apa sih pribumi dan non-pribumi itu. Saya orang Jawa, Islam, dan saya bergaul dengan sangat baik dengan teman-teman saya sampai sekarang," ujar Ananda membeberkan alasannya WO.
Anehnya, sikap ini mendapat dukungan bahkan pujian dari koleganya di twitter. Ada akun @RivoPamudji yang menyampaikan rasa bangganya terhadap sikap Ananda yang disebut telah menyampaikan pemikiran banyak orang.
"Salut dengan mas Nanda atas speech dan pendiriannya. Sungguh mewakili pemikiran banyak warga Jakarta (dan warga negara Indonesia). Setelah alumni CC menyuarakan isi hatinya, apakah nantinya alumni PL juga menyuarakan hal yang sama? Ataukah malah bangga dengan sang alumni,"ujar akun tersebut.
Apa kelindannya dengan anak-anak yang bermain balok? Ini bukan permainan biasa, sekadar membuat bangunan dan sejenisnya. Secara afeksi, permainan balok ini bertujuan agar anak dapat memahami prosedur kerja dan aturan main sesuai dengan kesepakatan serta bertanggungjawab.
Secara sosial, sentra balok ditujukan agar anak dapat menghargai teman, menghormati diri sendiri dan rekannya dan dapat bekerjasama.
Secara estetik, anak diharapkan dapat meletakkan balok pada tempatnya dan mengetahui posisi penempatannya. Singkatnya, mereka bisa mengklasifikasi benda.
Jujur, aksi WO Ananda Sukarlan membuat saya risau, bukan karena semata-mata dia menyerang Anies. Tapi lebih jauh dari itu, ini adalah wajah suram pendidikan kita yang tak mampu membangun karakter anak didiknya sejak dini.
Ketika Ananda Sukarlan WO, dia tak bisa menghargai keberadaan Anies dan pihak Kanisius yang mengundangnya. Ananda juga tak mampu mengklasifikasikan lingkungannya. Kolese Kanisius bukan acara politik tapi dia melakukan aksi WO yang sarat politik.
Tak heran jika Ketua Pemuda Muhammadiyah Provinsi DKI Jakarta Syahrul Hasan mengatakan, aksi WO Ananda Sukarlan dan beberapa orang lainnya menggambarkan sikap intoleran dan miskin akhlak sebagai tuan rumah dalam menerima tamu.
"Aksi walkout Ananda Sukarlan yang menuduh Anies Baswedan meraih kursi gubernur tidak sesuai nilai-nilai Kanisius adalah jauh panggang dari api," kata Syahrul.
Frans Magnis Suseno juga senada. Dia berujar:
"Saudara Ananda Sukarlan berhak menolak Anies. Sebagai seorang Muslim ia tidak perlu dicurigai bersikap sektarian. Namun saya tetap tidak dapat menyetujui kelakuannya. Tamu harus dihormati, tamu datang karena diundang panitia, maka semua yang ikut undangan panitia, harus menghormati tamu pun pula kalau secara pribadi tidak menyetujuinya. Silahkan panitia dikritik. Tetapi menginisiasikan suatu demonstrasi penghinaan terbuka terhadap Gubernur DKI saya anggap penyalahgunaan kesempatan."
Aksi WO Ananda mengkonfirmasi bahwa ada yang salah dengan sistem pendidikan kita. Setahu saya, konsep belajar di sekolah Katholik membuat pemerintah kepincut dan hendak menjadikannya sebagai acuan atau rujukan.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengatakan ada rencana untuk mengadopsi metode pendidikan lembaga pendidikan Katolik untuk diaplikasikan dalam kebijakan PPK di lingkungan sekolah umum.
"Misal, penyelenggaraan boarding school.Hal ini jelas telah berbasis nilai dan karakter. Para Romo [pendeta] dan guru selalu bersama siswa, menjaga dasar nilai keagamaan sebagai penguatan karakter," kata Muhadjir usai bertemu dengan sejumlah Uskup dari seluruh Indonesia yang tergabung dalam Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), di Kantor KWI, Jakarta Pusat, Jumat (25/8).
Kita bisa bayangkan, sistem pendidikan yang oleh pemerintah dianggap terbaik, termasuk Kanisius tentu saja, ternyata menghasilkan generasi semacam Ananda yang tak mampu menghormati orang lain dan mengklasifikasi lingkungannya. Padahal, itu adalah kemampuan dasar yang harusnya dimiliki setiap anak dan sudah ditanamkan sejak dini agar menjadi karakternya.
Kita patut risau dengan hal ini. Wajah dunia pendidikan kita begitu suram. Menekankan aspek akademik dan kognitif tapi mengabaikan karakter. Anak-anak tak mendapatkan pendidikan sesuai dengan fitrahnya.
Anak-anak kita dipacu berprestasi melalui alat ukur angka di rapot, ranking dan juara kelas. Tapi abai membangun konsep diri sejak awal.
Yang lahir akhirnya anak-anak yang cerdas intelektualnya, namun tumpul kepekaan emosional dan spiritualnya. Otaknya terisi penuh tapi jiwanya hampa.
Saya tak mengajak kita untuk pesimis apalagi WO dari Indonesia. Justru saya ingin kita sama-sama menyadari akar masalah ini, lalu mulai menyusun satu per satu solusi sehingga terbentuk wajah cerah pendidkan kita, seperti anak-anak yang asyik masyuk bermain balok di Sakura.
Erwyn Kurniawan
Direktur Shibghah Akhlak Quran (Sakura), Cikunir, Bekasi
Post a Comment