Rohingya dan Teroris Bernama Biksu Wirathu
Pembantaian muslim Rohingya memutarbalikkan stigmatisasi teroris. Selama ini, sosok jahat tersebut diasosiasikan dengan pria berjanggut, celananya mengatung dan bersorban. Begitulah media arus utama meracuni pikiran kita dengan mengopinikannya.
Halaman depan Koran Tempo Jumat, 13 Maret 2015 misalnya, terpampang gambar seorang pria berkopiah hitam dengan janggut tipis dan celana agak mengatung. Pria tersebut sedang memanggul senjata api laras panjang dan bersiap untuk pergi. Sebuah goodie bag bertuliskan I Love Turkey dijinjingnya. Gambar itu dibuat Koran Tempo untuk memvisualkan berita hilangnya 16 Warga Negara Indonesia (WNI) di Turki. Muncul dugaan mereka raib karena membelot ke Suriah untuk bergabung dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Usaha mengaitkan Islam dengan terorisme, kekerasan, lalu ISIS bukanlah ulah baru bagi Koran Tempo. Kita juga masih ingat Koran Tempo kerap kali menampilkan foto para tersangka teroris dengan wajah khas para aktivis Islam: berjanggut, bersorban dan lainnya. Pernah, dalam headlinenya—salah satu koran yang juga bersemangat menentang UU Pornoaksi– itu menulis pemikat beritanya dengan kalimat berikut. “Ia ahli bekam dan pengobatan herbal,” tulisnya menunjuk pada sosok Syaifudin Zuhri, ustadz yang menurut mereka adalah teroris.
Tapi usaha getol Tempo dan media sekuler lainnya terpatahkan seiring dengan munculnya sosok biksu Buddha Burma, Ashin Wirathu. Dia diduga kuat menjadi dalang di balik pembantaian warga etnis Rohingya di Myanmar. Majalah Time tak ragu menampilkan wajah Biksu Wirathu di sampulnya disertai tulisan “THE FACE OF BUDDHIST TERROR”. Begitu pula majalah Time dan New York Times menjuluki Biksu Wirathu sebagai “Birma Bin Laden”.
Pria pencetus gerakan anti-Islam 969 itu menyebut muslim Rohingnya sebagai anjing gila.Wirathu mengatakan itu dalam khutbah yang diliput media internasional, yang menggambarkan betapa secara terbuka ia memproklamirkan diri sebagai musuh Islam.
“Anda bisa berikan kebaikan dan rasa kasih, tetapi Anda tidak bisa tidur di samping anjing gila,” kata Wirathu seperti dikutip The New York Times, 21 Juni 2013. Yang dimaksud "anjing gila" oleh Wirathu adalah Muslim Rohingya sebagaimana tema khutbahnya.
Biksu Wirathu memang sosok kontroversial. Ia juga pernah disorot karena melontarkan kata-kata tidak etis dengan menyebut seorang utusan PBB “pelacur” dan “wanita jalang”, pada Januari 2015. Pejabat hak asasi manusia PBB, Zeid Ra’ad Al Hussein pun mendesak pemerintah Myanmar mengecam keras biksu Ashin Wirathu.
Al Hussain mengatakan komentar Wirathu tergolong “ucapan yang bisa memicu kebencian, melecehkan dan tidak menghargai martabat wanita”.
“Saya mendesak para pemimpin politik dan agama di Myanmar untuk mengecam semua ucapan yang bisa memicu kebencian,” kata Al Hussain dalam satu pernyataan tertulis.
Biksu Wirathu mengeluarkan komentar melecehkan itu dalam satu unjuk rasa Januari 2015, untuk menentang lawatan utusan PBB, Yanghee Lee, yang antara lain mengangkat nasib minoritas Rohingya di Myanmar.
Wirathu lahir pada 10 Juli 1968. Ashin Wirathu, nama lengkapnya. Ia yang mencetuskan gerakan ‘969’; sebuah gerakan anti-Islam yang kemudian membantai muslim Rohingya dan mengusir mereka dari tanah kelahirannya.
Catatan hitam Wirathu mencuat sejak tahun 2001. Waktu itu ia menghasut kaum Budha untuk membenci muslim. Hasilnya, kerusuhan anti-Muslim pecah pada tahun 2003. Wirathu sempat mendekam di penjara. Namun ia dibebaskan tepatnya pada tahun 2010 atas amnesti amnesti yang juga diberikan untuk ratusan tahanan politik.
Wirathu kini menjabat sebagai kepala di Biara Masoeyein Mandalay. Di kompleks luas itu Wirathu memimpin puluhan biksu dan memiliki pengaruh atas lebih dari 2.500 umat Budha di daerah tersebut. Dari basis kekuatannya itulah Wirathu memimpin gerakan anti-Islam “969”.
Entah sejak kapan Wirathu mendengungkan kampanye. Namun kampanye provokatif itu mulai meluas pada awal 2013. Ia berpidato di berbagai tempat, menyalakan kebencian kaum Budha atas umat muslim. Selain melalui pidato, gerakan 969 juga menyebar dengan cepat melalui stiker, brosur dan sebagainya. Kebencian dan anti-Islam meluas dengan cepat, berbuah pembantaian dan pengusiran Muslim Rohingya.
Kini, saat episode pembantaian terhadap muslim Rohingya kembali terjadi dengan kisah yang jauh lebih sadis, bukankah semakin menasbihkan bahwa sosok teroris saat ini bukanlah berjanggut. Melainkan berkepala plontos dengan jubah kesuciannya?
Erwyn Kurniawan
Pemimpin Redaksi Wajada
Pemimpin Redaksi Wajada
Post a Comment