PKI Bukanlah Godot
Membaca berita pagi ini soal pengepungan kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, membuat saya teringat dengan sosok bernama Undang. Usianya 67 tahun, menetap di Desa Sindanghayu, Ciamis, Jawa Barat. Di penghujung Desember 2016 lalu, saya bertandang ke rumahnya di pagi buta, kala mentari masih merangkak menampakkan sinarnya.
“PKI ganasss,” ucapnya dengan suara tertahan.
Tiba-tiba saja Pak Undang mengucapkan itu, padahal tema pertemuan saya dengannya bukan soal PKI. Saya bertamu untuk mengumpulkan data dan fakta terkait penulisan buku biografi seorang tokoh nasional. Pak Undang, demikian saya menyapanya, adalah kakak kandung Sang tokoh.
PKI menjadi tak terhindarkan, karena Pak Undang merasakan getirnya kehidupan di masa-masa menjelang meletusnya G 30 S. Raut kesedihan tak bisa disembunyikannya saat mulai berbicara kekejaman PKI. Ia menangis. Beberapa kali Pak Undang terdiam, seperti menahan gemuruh di dalam dadanya.
“Hidup sangat susah. Kami makan dengan campuran macam-macam. Jagung, umbi-umbian dan lainnya,” ungkap Pak Undang.
Pak Undang kemudian berkisah betapa kejinya PKI. Di Ciamis, kata dia menjadi basisnya. Tanah atau sawah yang akan direbut oleh PKI diberi tanda berupa patok merah. Kecuali itu, kader-kader PKI juga memiliki daftar nama kyai atau ustadz yang akan dibunuh.
“Bapak saya salah satu yang akan dibunuh. Namanya diberi tanda merah,” kata Pak Undang.
PKI, lanjut Pak Undang, lihai menyamar. Mereka pandai mengelabui masyarakat sehingga banyak yang tertarik menjadi anggotanya.
“PKI itu bagi orang desa tahunya Partai Kyai Indonesia,” jelas Pak Undang.
Saksi hidup kebiadaban PKI masih banyak, tak hanya Pak Undang. Menggali informasi langsung dari sumber primer atau pelaku sejarah menjadi kebutuhan penting di tengah upaya mengaburkan sejarah PKI yang beraroma amis darah. Dan jelang peringatan G 30 S/PKI pada September ini, kerja-kerja memanipulasi fakta kebengisan tersebut semakin terasa.
Saat desakan untuk memutar kembali film Pemberontakan G 30 S/PKI, anasir-anasir perlawanan terlihat. Simak berita-berita berikut ini:
1. Detik : Sejarawan : Film G 30 S/PKI alat Propaganda Orba
2. Tempo : Film G 30 S/PKI Diputar Lagi, Aktivis Pertanyakan Tujuan TNI AD
3. Tempo : NU: Film G 30 S/PKI hanya Cocok untuk Masa Orde Baru yang Tertutup
4. Kompas : KPAI Anggap Film Pengkhianatan G 30 S/PKI Tidak Layak Ditonton Anak-anak
5. Tempo : Anggota DPR Nilai Film Pengkhianatan G 30 S/PKI Ketinggalan Zaman
1.
Lalu muncul peristiwa pengepungan kantor LBH Jakarta, Ahad (17/9) malam. Massa dari berbagai ormas anti komunis berunjuk rasa, menuntut agar acara yang diduga mengangkat soal PKI itu dibubarkan. Tapi aksi mereka seperti membentur tembok tebal. Massa justru diusir aparat, dan terlontar klarifikasi dari pihak penyelenggara bahwa kegiatan di LBH bukan bicara soal PKI. Apalagi sampai menyanyikan lagu Genjer Genjer.
Isi kebangkitan komunisme menjadi seksi belakangan ini, terutama ketika pemerintah terlihat begitu mesra dengan Cina. Publik terbelah menjadi dua kelompok besar. Pertama, mereka yang meyakini bahwa ancaman komunisme masih ada dan siap bangkit. Mewakili kelompok ini adalah kalangan Islam tersebab dua hal: 1) Trauma masa lalu, akibat pembantaian besar-besaran PKI terhadap ulama dan santri pada tahun 1948 dan jelang 1965. Sejarawan Aminudin Kasdi menyatakan, PKI menganggap ulama, haji dan guru ngaji (dikategorikan sebagai tuan tanah dan penarik zakat, red) bagian dari 7 setan desa yang harus diganyang; (2) Fatwa para ulama yang menegaskan bahwa ajaran atheisme dan materialisme yang diajarkan komunis merupakan ajaran sesat lagi menyimpang.
Kedua, kelompok yang menganggap ancaman komunisme hanya ilusi yang diwakili golongan sekuler dan liberal. Alasan mereka: (1) Tidak ada lagi negara dengan ideologi komunisme mampu bertahan sejak runtuhnya Uni Soviet. Cina, Vietnam, Kuba dan Laos perlahan-lahan mulai beralih kepada sistem ekonomi kapitalis, meskipun masih mempertahankan komunisme sebagai ideologi, bukan sistem pemerintahan. Hanya Korea Utara yang masih mempertahankan ideologi dan sistem pemerintahan ala komunis. Itu pun mereka sebut karena faktor kegilaan Kim Jong Un; (2) Dengan kacamata kuda, mereka menganggap Pemerintah Indonesia (Orde Baru) melakukan pelanggaran HAM pada PKI. Maka muncullah stigmatisasi bahwa penentang PKI dicap sebagai antek-antek orde baru; (3) Kelompok ini melihat ancaman terbesar saat ini adalah terorisme yang berasal dari ekstrem kanan (Islamis). Komunisme dianggap bukan lagi ancaman sejak berakhirnya Perang Dingin dan ambruknya Uni Soviet.
Ingatkah anda dengan kisah Godot? Tokoh fiktif yang lahir dari Sastrawan Irlandia utara , Samuel Beckett (1906-1989) ini menjadi analogi yang pas saat kita membahas ancaman komunisme. Singkat cerita soal Godot: dia adalah sosok khayalan yang dinanti-nanti kehadirannya oleh masyarakat di sebuah kota. Tapi dia tak kunjung datang. Godot hanyalah ilusi.
Bagi kelompok sekuler dan liberal, PKI dengan ideologi komunisme yang diusungnya bagaikan Godot. Mereka meyakini tak akan pernah hadir kembali di Indonesia. Jadi tak perlu takut dan menganggapnya sebagai ancaman mengerikan.
Namun, tak perlu kita berteori muluk-muluk bak akademisi. Cukup simak dan dengarkan apa yang dikisahkan Pak Undang kepada saya di penghujung Desember 2016 lalu. Kita kemudian akan berkesimpulan serupa: PKI bukanlah Godot.
Erwyn Kurniawan
Pemimpin Redaksi Wajada
Post a Comment