Para Peraih Nobel Perdamaian Frustasi dengan Sikap Diam Aung San Suu Kyi
Pembantaian biadab rezim junta Myanmar terhadap muslim Rohingya bukan terjadi kali ini saja. Aung San Suu Kyi selalu diam. Sejumlah peraih Nobel Perdamaian mengkritiknya melalui surat terbuka hingga mereka frustasi karena terus membisunya Suu Kyi.
"Meski telah diajukan permohonan berulang-ulang kali kepada Daw Aung San Suu Kyi, kami frustasi melihat dia belum mengambil inisiatif apa pun untuk memastikan hak-hak kewarganegaraan penuh dan setara bagi etnis Rohingya. Daw Suu Kyi adalah seorang pemimpin dan bersamaan dengan itu, ia harus memimpin dengan keberanian, kemanusiaan, dan kasih sayang."
Surat terbuka itu dibuat oleh 23 aktivis dan peraih Nobel. Mereka antara lain eks Uskup Agung Afrika Selatan, Desmond Tutu, Malala Yousafzai, eks presiden Timor Timur, Jose Ramos-Horta, aktivisi oposisi Yaman, Tawakul Karman, eks PM Italia Romano Prodi, pengusaha Bangladesh Mohammed Yunus dan pebisnis kawakan Inggris, Sir Richard Branson.
Surat terbuka tersebut dibuat pada akhir 2016, ditujukan kepada Dewan Keamanan PBB dan kritikan disampaikan kepada Aung San Suu Kyi karena dianggap sebagai pemimpin de facto Myanmar. Surat ini merespon aksi keji junta Myanmar terhadap muslim Rohingya pada tahun itu.
Dalam surat terbukanya, 23 aktivis itu memperingatkan bahwa serangan militer ke Rakhine telah menewaskan ratusan orang termasuk di antaranya anak-anak, pemerkosaan terhadap sejumlah perempuan, pembakaran rumah, dan penangkapan warga sipil secara sewenang-wenang.
Surat terbuka itu disampaikan tak lama setelah Bangladesh mengumumkan sekitar 50.000 warga Rohingya telah melarikan diri dari kekerasan dengan menyeberangi perbatasan.
"Akses untuk organisasi bantuan kemanusiaan hampir sepenuhnya ditolak, menciptakan sebuah krisis kemanusiaan yang mengerikan di daerah yang sudah sangat miskin," tulis surat terbuka.
"Beberapa ahli internasional telah memperingatkan potensi genosida. Itu mengingatkan kita kembali kepada tragedi di masa--Rwanda, Darfur, Bosnia, Kosovo. Jika kita gagal bertindak, orang mungkin akan mati kelaparan jika mereka tidak dibunuh dengan peluru," ujar para aktivis tersebut.
Pemerintah Myanmar menjelaskan bahwa operasi militer di Rakhine dilakukan sebagai respons atas penyerangan ke pos keamanan pada 9 Oktober lalu. Sembilan polisi tewas dalam serangan itu.
Sementara itu, menurut para aktivis dalam surat terbuka itu, respons militer "sangat tidak proporsional."
"Seharusnya para tersangka ditangkap, diinterogasi, dan diadili. Adalah urusan lain ketika menggunakan helikopter tempur dalam menghadapi warga sipil, memerkosa perempuan, dan membiarkan bayi terbakar," kata surat tersebut seperti diberitakan Liputan6.
Post a Comment