Film G 30 S/PKI, Independensi Ulama dan Sutradara
Seorang dai dan ulama rabbani memiliki independensi yang sangat tinggi atas apa yang disampaikan dalam seruan dakwah, kajian dan fatwanya. Mereka boleh saja mendapatkan pesanan tema atas apa yang akan dibahas, namun mereka tidak akan mau menerima pesanan fatwa dan pesanan dalil. Karena mereka akan dimintai pertanggungjawaban secara penuh atas apa yang disampaikannya diakherat kelak. Namun persoalannya lain jika sudah menyangkut isi, substansi dan dalil.
Ambil contoh, ada para budak datang kepada Syaikh Hasan al Bashri agar berkhutbah tentang keutamaan memerdekakan budak. Imam Hasan Al Bashri pun menyanggupi tema tersebut. Namun beliau menyampaikan khutbah dengan tema itu beberapa bulan kemudian, yakni setelah beliau sendiri sanggup melaksanakan amal tersebut. Inilah diantara contoh independensi ulama. Tema boleh saja pesanan atau request dari pihak lain, tapi isi ceramah dan kapan waktunya, beliau sendiri yang menentukan. Tanpa mau ditekan dari pihak manapun. Kondisi seperti inilah yang membuat ulama memiliki kedudukan yang terhormat.
Hal yang kurang lebih sama terjadi pada Imam Ahmad bin Hambal. Beliau lebih memilih disiksa dan dipenjara, ketimbang mengatakan (atau mendukung pendapat) bahwa Al Qur'an adalah makhluk sebagaimana pemahaman kaum muktazilah. Beliau memegang teguh pendapat yang diyakini kebenarannya, sebagaimana pemahaman ahlus sunnah bahwa Al Qur'an adalah kalamullah. Inilah contoh lain independensi para ulama, yakni menolak request dari pihak lain jika bertentangan dengan ilmu, pemahaman maupun keyakinannya. Meskipun akan berbuah siksa dan penjara.
Kita tidak memungkiri bahwa adajuga para dai dan ulama (ulama su') yang melacurkan ilmunya. Ada banyak dalil dalam suatu masalah, maka dia akan membawakan (menjual ilmunya) sesuai dengan pesanan dan request pihak lain. Bisa dari penguasa, pengusaha maupun pihak - pihak lain. Dakwahnya bukan menyampaikan kebenaran, meluruskan pemahaman atau memperbaiki kerusakan, namun memelintir ayat dan memutilasi dalil untuk kepentingannya sendiri. Ulama seperti inilah yang menimpakan fitnah kepada agamanya, menyesatkan umat dan mengkhianati ilmu.
Situasi yang kurang lebih sama terjadi diranah kehidupan yang berbeda. Tak terkecuali dalam dunia film sekalipun. Ambil contoh film G 30 S PKI yang sekarang jadi isu nasional.
Tema bisa saja pesanan dan request dari pihak lain. Namun para sineas yang handal, jelas tidak mau hasil karyanya diintervensi, diawasi dan diarahkan oleh pihak lain. Mereka membuat riset sendiri, membangun narasi sendiri, mencari pemain film sendiri, mengedit sendiri dll. Inilah potret para sineas handal yang memiliki dedikasi penuh atas hasil karyanya. Meskipun, kita tidak memungkiri adanya para sineas yang melacurkan idealismenya. Baik menggunakan ilmunya untuk membuat film rendahan maupun untuk membuat film yang manupulatif, yang bertentangan dengan hati nuraninya.
Bagaimana halnya jika hasil karya filmnya digunakan sebagai alat propaganda? Itu diluar konteks persoalan dan tanggungjawabnya. Sama halnya dengan yang terjadi pada fatwa Imam Malik, yakni saat beliau berfatwa bahwa bai'at yang dilakukan dibawah tekanan (paksaan) hukumnya tidak sah. Bahwa fatwa beliau ditarik - tarik ke wilayah politik, itu lain persoalan. Film dibalas dengan film, kitab dibalas dengan kitab, propaganda dibalas dengan propaganda. Toh ada ilmu dan dalil untuk membedah keabsahan sebuah fatwa sebagaimana ada fakta, referensi, alat bukti, kesaksian dll untuk menguji validasi sebuah film. Wallahu a'lam.
Eko Jun
Post a Comment