Aku Adalah Kau yang Lain yang Harusnya Kau Jaga Perasaannya
Bagaimana suasana hati Anda kalau dalam suatu pengajian sang ustadz menggunakan nama Anda untuk contoh pelaku perbuatan cabul? Saya sih akan protes, “Emang gak ada nama laen, ustadz?” Dan bagaimana bila nama orang tua Anda yang dijadikan contoh? Akan lebih tidak rela lagi saya rasa.
Banyak kah orang yang ketika lahir diberi nama Muhammad oleh orang tuanya, namun ketika dewasa dihukum sebagai pelaku kejahatan? Ada banyak. Tapi rela kah Anda bila ada sebuah film yang menceritakan tokoh bernama Muhammad sebagai pelaku kejahatan dan digambarkan begitu buruk? Saya sih tidak rela. Dan saya yakin umat Islam akan protes. Kalau tidak salah dulu pernah ada telenovela yang seorang tokohnya bernama Fatimah dan digambarkan sebagai antagonis. Kemudian muncul protes umat Islam.
Anda punya tokoh idola? Bagaimana bila ada orang yang mengarang cerita dengan tokoh jahatnya bernama sama dengan idola Anda? Anda pendukung pak Jokowi tidak akan terima kan kalau ada cerpen yang memuat tokoh bernama Jokowi dengan perilaku yang buruk? Walau pun pembuat cerita menulis disclaimer: “Nama dalam kisah di atas hanyalah rekaan, kalau ada kesamaan itu hanya kebetulan saja”. Anda tetap tak terima dan mungkin melaporkan cerita itu ke aparat sebagai penghinaan kepada kepala negara.
Bagaimana perasaan Anda bila melihat film yang peran antagonisnya digambarkan satu suku dengan Anda? Saya rasa sedikit banyak akan protes juga dalam hati. Atau bila ada peran antagonis yang agamanya sama dengan Anda, sedang yang lain agamanya beda tapi baik-baik semua. Bahkan bila si antagonis itu profesinya sama dengan Anda, akan ada juga perasaan sebal.
Rela kah Anda bila nama Anda dipakai oleh teman untuk menamakan anjing kesayangannya? Saya rasa Anda akan komplen.
Dari pertanyaan-pertanyaan di atas, kira-kira bisa dimengertikah mengapa banyak umat Islam yang aktif di pengajian merasa tersinggung dengan film “Kau Adalah Aku yang Lain” yang baru saja memenangkan Festival Film Pendek yang diselenggarakan Polri?
Tak Adakah Alternatif Cerita Lain?
Andai yang menghadang mobil ambulan dalam film itu adalah preman, tentu orang akan menganggap wajar. Tapi yang diceritakan adalah orang yang aktif di pengajian. Tentu umat muslim akan tersinggung. Mereka merasa tak diajarkan sebegitu ekstrim seperti di film, tak akan bertindak sebegitu bodoh, tapi mengapa ada penggalan cerita tersebut.
Bila objektif cerita ingin mengajarkan toleransi, mengapa harus dengan contoh buruk yang melibatkan jamaah pengajian? Padahal contoh baiknya sudah ada dan bisa dijadikan cerita tanpa membuat satu pihak pun tersinggung. Yaitu saat umat Islam ikut “mengarak” sepasang pengantin non muslim di aksi 411 maupun 112.
Saya meragukan bila tak ada film lain yang diikutsertakan dalam festival tersebut yang tak kan menuai kontroversi publik, dan memiliki bobot yang tak kalah bagus. Saya berprasangka ada. Lalu mengapa bukan film itu yang dimenangkan?
Pada akhirnya, alih-alih menghantarkan pesan dengan mulus kepada masyarakat, film itu malah menimbulkan keributan baru. Kampanye toleransi, bhineka, dll akan semakin dianggap retorika kosong belaka oleh masyarakat.
Seharusnya pihak penyelenggaranya punya sense of crisis dengan perselisihan yang tak kunjung usai di tengah masyarakat. Kalau ada niat meredakan ketegangan, harusnya berhati-hati agar tidak memicu ketersinggungan salah satu pihak. Bisa kok dibuat alternatif cerita lain yang menggambarkan toleransi dengan indah tanpa kontroversi.
Raso Jo Pareso
Ada sebuah falsafah dari kampung saya yang berbunyi “raso jo pareso.” Dalam Bahasa Indonesia berarti rasa dan periksa. Falsafah ini mengajarkan masyarakat Minangkabau untuk memastikan terlebih dahulu perkataan yang akan disampaikan kepada lawan bicara, jangan sampai menyinggungnya. Dengan cara merasai seolah ada di posisi pendengar, dan memeriksa kembali apakah ada redaksi kata yang rawan disalah tafsirkan.
Dari raso jo pareso itu kita tahu, membawakan nama teman untuk permisalan buruk akan membuat ia tersinggung. Begitu juga bila membawa nama keluarganya, nama tokoh yang dihormatinya, dll. Merasai dan memeriksa, hingga kita tahu bahwa bila kita yang menjadi dia, akan merasa tidak enak juga.
Inilah manifestasi dari kalimat “kau adalah aku yang lain” yang dijadikan judul dalam film tersebut. Jadi ironis, kalimat tersebut tidak diresapi benar dengan konsep raso jo pareso hingga akhirnya menimbulkan kemarahan dari “aku yang lain”-nya si sutradara, produser, dan penyelenggara.
Kalau aku adalah kau yang lain, mengapa masih kau buat aku tersinggung? Peka lah! Gunakan raso jo pareso. Karena aku adalah kau yang lain yang harus kau jaga perasaannya.
Zico Alviandri
Post a Comment