Sidang Etik Ketua KPUD: Korban Distorsi Media dan Politik Framing
Salah satu kunci kesuksesan penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) adalah hadirnya Lembaga Penyelenggara Pemilu, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang berintegritas, profesional, mandiri, dan indpenden. Tidak mudah menyandang serangkaian nilai itu memang. Karena KPUD selalu berada dalam arus tarik menarik antar pihak yang berkepentingan dalam upaya memenangkan sebuah kontestasi Pilkada.
Justru disinilah tantangannya.Tantangan yang menuntut KPUD benar-benar menjadi seorang wasit yang adil dan tidak berat sebelah. Apalagi menjadi partisan pada salah satu pasangan calon (paslon). Karena sukses Pilkada adalah sukses KPUD.
Dalam kasus Pilkada DKI Jakarta, betapa menjaga kewibawaan kelembagaan pemilu, amat sangat berat. Apalagi melihat iklim dan atmosfir kompetisi antar para pendukung paslon saat ini, yang begitu "panas", menegangkan dan tidak segan-segan melakukan black campaign (kampanye negatif). Bila tidak bisa "mengadili" lembaganya, serangan-serangan yang bersifat pribadi pun kerap digunakan. Terutama jelang Putaran Kedua Pilkada DKI Jakarta, 19 April 2017 nanti.
Beberapa kasus yang menyangkut "etik" seorang komisioner KPUD baru-baru ini, semisal pertemuan Ketua KPUD Sumarno dengan Anies Baswedan (Paslon No.3) pada pemungutan suara ulang di TPS 39 Kalibata, "Rapat Internal" bersama Paslon No.2 di salah satu hotel di Jakarta, munculnya profil picture "Aksi Damai 212" di WhatsApps Sumarno, dan ikhwal honorarium seorang Ketua KPUD dan Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) saat menghadiri "Rapat Internal" Paslon No.2, menuntut penjelasan publik.
Hal ini terpaksa harus "diluruskan" Sumarno bersama anggota komisioner KPUD yang lain, termasuk Bawaslu DKI, pada Sidang Kode Etik Penyelenggara Pemilu kedua di hadapan Majelis Hakim Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu (DKPP), yang diketuai Jimly Assiddiqie di Gedung Nusantara IV DPRI RI Jakarta, Senin (3/4/17).
Tentu saja sidang tersebut dapat berlangsung setelah ada pengaduan dari para pihak, diwakili tim kuasa/ hukum masing-masing paslon dan sejumlah saksi yang dihadirkan. Kendati belum ada keputusan final terkait perkara etik tersebut, tapi sejumlah benang merah tentu bisa dirumuskan.
Bagi saya, yang kebetulan mengikuti sidang tersebut, cukup aneh memang, ketika masing-masing Tim Paslon merasa KPUD tidak independen. Secara logika, munculnya dua laporan dari pihak yang berbeda justru ingin menegaskan bahwa KPUD sesungguhnya independen. Kalau tidak, laporan ketidakindependenan itu justru sejatinya muncul dari salah satu paslon.
Pertanyaan mendasar, mengapa muncul suara KPUD tidak independen dan berusaha merekomendasakan mundurnya Ketua KPUD? Ada apa?Justru pertanyaan ini membuat rasa penasaran saya tergugah untuk mengikuti sidang tersebut.
Framing Media dalam Pilkada
Todd Gitlin dalam Irianto (2002,68), menyebutkan, framing adalah strategi bagaimana realitas/dunia dibentuk dan disederhanakan sedemikian rupa untuk ditampilkan kepada khalayak pembaca. Peristiwa-peristiwa ditampilkan dalam pemberitaan agar tampak menonjol dan menarik perhatian khalayak pembaca.Realitas yang kompleks dipahami dan disederhanakan dalam kategori tertentu.
Ada dua aspek dalam framing. Pertama, memilih fakta/realitas. Proses memilih fakta ini didasarkan pada asumsi, wartawan tidak mungkin melihat peristiwa tahap perspektif. Dalam memilih fakta ini selalu terkandung dua kemungkinan; apa yang dipilih (included) dan apa yang dibuang (excluded). Bagian mana yang ditekankan dalam realitas, bagian mana dari realitas yang diberitakan, dan bagian mana yang tidak diberitakan.
Penekanan aspek tertentu itu dilakukan dengan memilih angel tertentu, memilih fakta tertentu, dan melupakan fakta yang lain, memberitakan aspek tertentu dan melupakan aspek lainnya. Akibatnya, pemahaman dan konstruksi atas suatu peristiwa bisa jadi berbeda antara satu media dengan media lain.
Di sinilah kadang para pembaca atau khalayak sering "gagal paham" mengamati dan mencermati sebuah fenomena. Kondisi ini makin runyam ketika muncul banyak media alternatif, lebih tepatnya "aba-abal", yang sengaja dibuat untuk mendukung paslon.
Dalam Pilkada DKI yang sangat tinggi dinamikanya, framing media bekerja begitu sangat "paripurna". Karena framing media telah didukung oleh para buzzer atau tim sosial media sedemikian rupa, baik melalui media-media mainstream maupun media-media alternatif (termasuk abal-abal), yang pada titik tertentu telah menjadi bagian tak terpisahkan dengan keberadaan tim sukses. Baik karena kerja sama bisnis (kontrak iklan atau "keradaksian"), maupun memang sebagai bagian dari grup perusahaan media, yang telah menjadi "penguasa baru" di dunia politik Indonesia. Kalau kita akrab dengan "Politik Pencitraan", di sinilah sesungguhnya "penguasa media" itu telah bekerja.
Media Mendistorsi Fakta
Dari Sidang Kode Etik yang berlangsung, saya menggarisbawahi beberapa fakta, tidak hanya melalui laporan Pengadu (Tim Paslon), keterangan Teradu (Ketua KPUD dan Ketua Bawaslu), juga keterangan para saksi.Dari keterangan sejumlah pihak tersebut, dapat disimpulkan, para pengadu membuat laporan berdasarkan framing yang dilakukan oleh media dan dunia sosial media. Padahal framing pun terjadi karena ada unsur distorsi dalam pemberitaan. Berikut fakta persidangannya:
1. Pertemuan Ketua KPUD dengan Paslon No. 3. Pertemuan Ketua KPUD dengan Anies Baswedan berlangsung saat terjadi peristiwa Pemungutan Suara Ulang (PSU) di TPS 39 Kalibata Jakarta. Ketika itu Sumarno, karena posisinya sebagai Ketua KPUD tengah melihat kesiapan pelaksanaan kegiatan PSU tersebut. Pertemuan pun dilakukan di tengah keramaian massa para pemilih dan disaksikan sejumlah media. Namun lewat framing tertentu ada media yang memberitakan seolah-olah pertemuan itu dilaksanakan secara khusus.
Untuk meyakinkan laporannya, para pengadu, membingkai seolah-olah ada "hubungan historis" antara Anies dengan Sumarno, yang mengait-ngaitkan posisi Anies sebagai mantan aktivis HMI di Yogya dengan Ketua KPUD, yang mantan Ketua HMI Komisariat FISIP Universitas Jember. Fakta historisnya mungkin benar tetapi hubungan antara fakta historis dengan fenomena pertemuan Anies dengan Sumarno, jelas tidak nyambung.
2. "Rapat Internal" Ketua KPUD dengan Paslon No.2. Setelah media membuat heboh pertemuan Sumarno dengan Anies, kali ini Ketua KPUD dan Ketua Bawaslu dibully karena telah melakukan pertemuan tertutup atau "Rapat Internal" dengan Paslon No.2 di salah satu hotel di Jakarta. Pertemuan itupun dibuat heboh dengan diksi, "Ketua KPUD Kepergok Saat Rapat Internal dengan Paslon No. 2" dan seterusnya.
Padahal yang terjadi, Kedua pejabat KPUD dan Bawaslu itu diundang secara resmi dalam Rapat Kerja dan kehadirannya pun telah disepakati dalam Pleno para komisioner, serta diketahui banyak wartawan. Memang ada satu momen dimana ketika Ketua KPUD hadir, Sang Petahana sedang bicara di ruangan dan Ketua KPUD diminta menunggu di salah satu lantai hotel tersebut. Inilah fakta seolah Ketua KPUD "kepergok" sedang melakukan Rapat Internal dengan Paslon No. 2.
3. Profil Picture (PP) "Aksi Damai 212" di Whatss Apps.Satu laporan yang dilakukan Tim dari Paslon No. 2 adalah ketika Ketua KPUD mengganti Profil Picture "Aksi Damai 212". Pengadu mengatakan, Ketua KPUD sebagai Teradu, dinilai telah berpihak pada Paslon No. 3 lantaran aksi tersebut dilakukan untuk melakukan tuntutan hukum pada Paslon No. 2.
Dalam kasus ini, Sumarno mengatakan dirinya sama sekali tidak menyangka pergantian PP yang terjadi sekitar seharian (dari pagi hingga malam), tiba-tiba menjadi viral di sosial media. Karena Sumarno menganggap, kegiatan "Aksi Damai 212" adalah momen doa bersama yang dihadiri oleh Presiden, Wakil Presiden (Wapres), Panglima TNI, Kapolri, dan sejumlah pejabat lainnya.
Bahkan Sumarno berkali-kali menegaskan, Presiden dan Wapres di media mengatakan kegiatan tersebut sebagai "Doa Bersama". Jadi baginya, tak ada alasan, lantaran itu dirinya dituduh tidak berpihak.
4. Terkait honorarium pada saat menghadiri "Rapat Kerja", memang Ketua Majelis Hakim, yang juga Ketua DKPP, Jimly mengatakan belum ada aturan yang jelas soal penerimaan itu. Walaupun diterima atas dasar "jasa" sebagai pembicara, dengan jumlah sesuai ketentuan pemerintah, untuk menghindari kontroversi, ketentuan ini akan diatur kembali. Namun framing "Ketua KPUD Menerima Uang dari Paslon No. 2" memang telah menjadi viral yang mendistorsi Sumarno.
Akhirnya, fenomena yang terjadi karena distorsi media dan framing pemberitaan yang dilakukan, apalagi menyangkut kepentingan politik saat Pilkada, harus bisa disikapi secara proporsional dan profesional. Framing bertujuan membingkai sebuah informasi agar melahirkan: citra, kesan, makna tertentu yang diinginkan media atau wacana yang akan ditangkap oleh khalayak.
Sebagai catatan, framing sangat erat kaitannya dengan kebijakan redaksi (editorial policy) atau politik keredaksian, terkait mana berita-berita yang boleh dan tidak boleh diberitakan. Sehingga di era, dimana media kini telah menjadi sebuah "penguasa baru" dalam jagad politik Indonesia, kecerdasan literasi memang sangat dibutuhkan oleh para pembaca dan masyarakat pada umumnya.
Kusairi
Pemerhati Media dan Sosial Media
Post a Comment