Menyoal Netralitas SBY Dalam Pilkada DKI Jakarta Putaran Kedua
Masih ingat munculnya nama Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) pada detik-detik akhir pendaftaran Pasangan Calon Pilkada DKI Jakarta? Tentu masih ingat juga dong bagaimana SBY menghimpun beberapa partai politik membangun dukungan buat putranya?
Barangkali ini sekadar seloroh menolak lupa. Kala itu saya memang sudah menduga, SBY sesungguhnya tidak pernah serius mengusung putranya maju di arena Pilkada. Ambisi AHY sebenarnya ambisi SBY. Sekadar meningkatkan daya tawar SBY dan lingkar kekuasaannya. Karena disadari betul ini bukan Pilkada biasa. Tapi ruarrrr biasa!
Ada banyak pertarungan di dalamnya; pertarungan politik jelang Pilpres 2019, pertarungan bisnis para taipan, pertarungan para orang-orang yang bermasalah karena tersandera kasus (termasuk pemimpin parpol), pertarungan legitimasi parpol, pertarungan kursi kekuasaan, dan sebagainya. Diharapkan at the end, putaran kedua akan berlangsung antara AHY dan Sang Petahana. Bila terjadi, ini langkah yang mulus buat Petahana memenangkan kontestasi di Pilkada DKI 2017 ini.
Beberapa lembaga survey pun sudah memberikan laporannya masing-masing dan hampir rata-rata menempatkan AHY di urutan pertama dan kedua setelah Petahana.
Mengapa begitu? Karena memang Pilkada itu cuma sekadar pagelaran bagi para pemilik hajatan. AHY, Petahana, juga Anies-Sandi, boleh jadi hanya sekadar pengisi acara.
Namun realitas politik ternyata berbicara lain. Dukungan Paslon No. 3 hampir mendekati angka perolehan Petahana, 39%:42%, memang cukup fantastik. Larinya pendukung AHY, diprediksi sebagian karena sikap politik bapaknya sendiri kepada Paslon No.3, memang cukup mencengangkan. Dukungan parpol ternyata tidak serta merta menjadi dukungan para konstituen. Kita sudah bisa membuktikan, Petahana harus menghadapi Sang Penantang, Anies-Sandi di putaran kedua Pilkada, 19 April 2017 mendatang. Anies memang diakui menjadi lawan tanding Petahana yang tidak mudah.
Netralitas SBY: Sudah Diduga
Sesungguhnya netralitas SBY dalam sebuah arena politik sudah bisa diduga. Seorang SBY sesungguhnya tidak pernah "ikhlas" memberikan dukungan politik kalau bukan dirinya sendiri yang didukung. Ini pula yang membuat "kegeraman" keluarga Hatta Rajasa, ketika maju di Pilpres 2014 lalu yang tidak pernah didukung secara "Firm" oleh besannya sendiri.
Sama seperti Pilpres lalu, kali ini pun SBY memilih netral untuk tidak menjatuhkan pilihan ke salah satu Paslon dalam PilkadaDKI Putaran ke-2. SBY dengan enteng "meninggalkan" -- sesunggunya memberikan "peluang", bagi para parpol pengusung AHY untuk "bernegosiasi" sendiri-sendiri dengan pilihan-pilihan politiknya. Soal ini saya malah lebih salut dengan Megawati, yang menunjukkan keberpihakannya pada sebuah blok kekuasaan tertentu, apapun motivasi keberpihakan itu. Karena pada sisi lain netralitas sangat sulit dibedakan dengan amoralitas.
Jadi, kalau hari ini sejumlah parpol, yang tadinya pengusung SBY dan sempat bersemangat mau menantang Petahana, berbalik ingin dan terpaksa mendukung Petahana, juga sudah dapat diduga. Terdapat beberapa alasan mengapa parpol begitu "tidak malu-malu" membalikkan dukungannya. Karena, diduga semua parpol itu, terutama para pemimpinnya, muncul dengan sejumlah masalah. Juga tentu saja kebutuhan, baik yang bersifat material (uang) maupun kekuasaan.
Bagi saya, Pilkada DKI ini justru memberikan kepada kita dan segenap masyarakat tentang banyak hal. Setidaknya masyarakat makin pintar, mana kira-kira parpol yang layak didukung pada Pemilu mendatang, mana parpol yang selayaknya memang harus dibubarkan sendiri oleh konstituennya karena hanya menjadikan "idealisme" dan kepala-kepala konstituen sebagai alat jualan dan pijakan kekuasaan.
Kusairi Muhammad
Post a Comment