Antara Ahok dan Ranieri
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Claudio Ranieri menghirup oksigen di bumi yang sama. Tapi nasib hidup keduanya berbanding terbalik. Ranieri kini bagai pecundang usai Manajemen Leicester City memecatnya. Sementara Ahok masih menikmati kursi empuk gubernur DKI Jakarta, bahkan Kamis (23/2) kemarin dimanjakan Presiden Jokowi berkendara dengan mobil RI-1. Apa hubungan keduanya?
Mei tahun tahun lalu tak akan pernah ada yang membayangkan dalam imajinasi paling nakal sekalipun bahwa Ranieri akan dipecat. Allenatore Italia itu mencatatkan sejarah yang bisa jadi salah satu yang terbesar dalam jagat sepakbola: mengantarkan Leicester City menjadi juara Liga Inggris 2015-2016, klub yang tahun sebelumnya nyaris degradasi. Seorang Pep Guardiola pun tak akan pernah bisa melakukanya dengan skuat Leicester City yang pas-pasan di tengah gemerlapnya bintang sepakbola dunia yang merumput di Inggris dan gemerincing dolar dari pemilik klub kaya.
Tapi Ranieri mampu mewujudkan mimpi Leicester City. Mimpi yang hampir 3 dekade juga dimiliki oleh fans Liverpool yang hingga kini tak pernah mencicipi manisnya menjadi kampiun premier league sejak 1990. Pantas jika kemudian Ranieri diganjar sebagai Pelatih Terbaik Dunia 2016 oleh FIFA pada awal Januari lalu.
Bongkahan prestasi emas Ranieri tak dapat meluluhkan perasaan Manajemen Leicester City. Ia tetap dipecat karena di musim 2016-2017 kiprah Leicester tak kunjung membaik. Kini mereka berada di jurang degradasi.
“Leicester City Football Club telah berpisah dengan Claudio Ranieri. Statusnya sebagai manajer tersukses Leicester City sepanjang masa tidak diragukan. Akan tetapi, hasil di liga domestik telah menempatkan klub sebagai peserta Premier League dalam ancaman dan dewan secara berat hati merasa perlu adanya perubahan di level kepemimpinan,” demikian bunyi pernyataan klub pada Kamis (23/2).
Nun jauh dari Inggris, Ahok masih bisa tidur nyenyak. Berbagai masalah terus menderanya sejak menjadi orang nomor 1 di DKI Jakarta. Bukan hanya bicara sikap dan tutur kata yang sangat tak pantas. Tapi juga soal kinerjanya dan bau busuk korupsi yang terus berusaha ditutupinya. Terakhir, ia mencatatkan diri dalam sejarah negeri ini: menjadi gubernur pertama yang berstatus terdakwa.
Di masa Ahok, Jakarta masih macet dan banjir. Dulu ia berkoar-koar akan menciptakan Jakarta Baru bersama Jokowi, namun semuanya hanya ilusi. Ia juga sesumbar normalisasi yang dilakukannya akan membuat Jakarta bebas banjir. Tapi apa lacur, ibukota tetap terkepung air bahkan di saat curah hujan tak sebesar tahun-tahun silam.
Ahok membanggakan dirinya anti korupsi dan pemimpin bersih. Tapi lihatlah bagaimana RS Sumber Waras dan reklamasi pantai membelitnya. Orang waras sekalipun akan mengatakan bahwa Ahok koruptor.
Puncaknya saat ia menista Al Quran di Kepulauan Seribu saat pakaian dinas masih melekat di tubuhnya. Penguasa mendiamkannya, lalu umat Islam meresponnya dengan Aksi 1410, 411, 212 dan 212 jilid 2. Tapi rezim ini masih tak bergeming. Bahkan para ulama yang menggerakkan umat dikriminalisasi.
Ahok nir prestasi. Media massa lah yang menjadikannnya mitos. Padahal, ia adalah sosok yang mengancam dan membahayakan kebhinekaan negeri ini. Sudah sangat selayaknya ia diberhentikan sebagai gubernur dan masuk ke hotel prodeo.
Begitulah nasib beda Ahok dan Ranieri. Tanpa prestasi , terdakwa dan membuat negara ini terjerembab dalam jurang konflik horisontal, Ahok masih asyik menikmati semua fasilitas negara yang berasal dari uang rakyat. Sebaliknya Ranieri, torehan sejarah yang diukirnya tak lantas membuat Wakil Ketua Klub, Aiyawatt Srivaddhanaprabha menganakemaskannya.
“Ini adalah keputusan yang tersulit. Claudio telah membawa kualitas luar biasa ke klub ini. Tapi kami tengah berjuang keras mencapai target untuk bertahan di Premier League sebagai misi pertama dan satu-satunya di musim ini,” kata Aiyawatt.
Sayang, Presiden Jokowi tak mengatakan itu kepada Ahok.
Erwyn Kurniawan
Post a Comment